MediandaTerkini – Sahabat
medianda terkini sebagai seorang muslim dan muslimah shalat merupakan suatu
kewajiban. Tapi miris jika shalat sudah dijalankan tapi pahalanya hilang begitu
saja..., hanya karena tidak mau menjaga aurat... Jangan sampai terjadi hal hal
yang tidak dinginkan...
Jika melihat kehidupan masyarakat di sekitar,
banyak kita jumpai kaum wanita keluar rumahnya dengan tidak mengenakan jilbab,
atau bahkan memakai rok mini yang mengumbar aurat mereka, begitu pula kaum
pria, banyak di antara mereka tidak menutup aurat.
Anehnya, keadaan itu dianggap
biasa, tidak dianggap sebuah kemaksiatan yang perlu di ingkari. Seakan menutup
aurat bukan sebuah kewajiban dan membuka aurat bukan sebuah dosa.
Bahkan sebaliknya, terkadang
orang yang menutup auratnya di anggap aneh, lucu dan asing. Inilah fakta yang
aneh pada zaman sekarang. Kenapa bisa seperti itu ?
Jawabnya, karena jauhnya mereka
dari agama Islam sehingga mereka tidak mengerti apa yang menjadi kewajiban
termasuk kewajiban menjaga aurat.
Oleh sebaba itu, pada
kesempatan kali ini mengutip almanhaj, kami akan mencoba membahas tentang
kewajiban menutup aurat, batasan-batasanya dan siapa yang bertanggung jawab
menjaganya ?
PENGERTIAN
AURAT DAN KEWAJIBAN MENUTUPNYA.
Aurat adalah suatu angggota
badan yang tidak boleh di tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau
perempuan kepada orang lain. [Lihat al-Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah,
31/44]
Menutup aurat hukumnya wajib
sebagaimana kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada orang
laki–laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kem4luannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha
mengatahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kem4luannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera
mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
[an-Nûr/24:31]
Dan Allâh Azza wa Jalla juga
berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Wahai anak adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan
jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan. [al-A’râf/7:31]
Sebab turunnya ayat ini
sebagaimana yang di sebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu
anhuma, beliau berkata:
كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ … فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Dahulu para wanita tawaf di
Ka’bah tanpa mengenakan busana … kemudian Allâh menurunkan ayat :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Hai anak adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…[HR. Muslim, no. 3028]
Bahkan Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan kepada istri-istri nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat
mereka sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[al-Ahzâb/33:59]
Dengan menutup aurat hati
seorang terjaga dari kejelekan Allâh Azza wa Jalla berfrman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
[al-Ahzâb/33:53]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menegur Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma ketika beliau
datang ke rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan busana
yang agak tipis. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memalingkan
mukanya sambil berkata :
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
Wahai Asma ! Sesungguhnya
wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali
ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan).[HR. Abu Dâwud,
no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh
al-Albâni rahimahullah]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan perihal aurat yang
harus di tutup dan yang boleh di tampakkan, maka beliau pun menjawab :
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إلَّا مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ.
Jagalah auratmu kecuali
terhadap (penglihatan) istrimu atau budak yang kamu miliki.[HR. Abu Dâwud,
no.4017; Tirmidzi, no. 2794; Nasa’i dalam kitabnya Sunan al-Kubrâ, no. 8923;
Ibnu Mâjah, no. 1920. Hadist ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Sahabat medianda terkini wanita
yang tidak menutup auratnya di ancam tidak akan mencium bau surga sebagaimana
yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَمْثَالِ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ مَسِيْرةٍ كَذَا وَكَذَا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah
aku lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor
sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian
tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti
mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak
akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama
perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim, no. 2128]
Dalam riwayat lain Abu Hurairah
menjelaskan. bahwasanya aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. [HR. Malik
dari riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626]
Dan diharamkan pula seorang
lelaki melihat aurat lelaki lainnya atau wanita melihat aurat wanita lainnya,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ
Janganlah seorang lelaki
melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat
wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain,
dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
[HR. Muslim, no. 338 dan yang lainnya]
Begitu pentingngnya menjaga
aurat dalam agama Islam sehingga seseorang di perbolehkan melempar dengan
kerikil orang yang berusaha melihat atau mengintip aurat keluarganya di
rumahnya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْ اطَّلَعَ فِي بَيْتِكَ أَحَدٌ وَلَمْ تَأْذَنْ لَهُ خَذَفْتَهُ بِحَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ
Jika ada orang yang berusaha
melihat (aurat keluargamu) di rumahmu dan kamu tidak mengizinkannya lantas kamu
melemparnya dengan kerikil sehingga membutakan matanya maka tidak ada dosa
bagimu. [HR. Al-Bukhâri, no. 688, dan Muslim, no. 2158].
BATASAN-BATASAN
AURAT.
1.
Aurat Sesama Lelaki
Terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para Ulama tentang batasan aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat
atau orang lain. Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur
Ulama yang mengatakan bahwa aurat sesama lelaki adalah antara pusar sampai
lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat sedangkan paha dan yang lainnya
adalah aurat. Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan
pada sisi sanadnya , tetapi dengan berkumpulnya semua jalur sanad tersebut
menjadikan hadist tersebut bisa di kuatkan redaksi matannya sehingga dapat
menjadi hujjah. [Lihat perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’
1/297-298, dan Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah, no. 2252]
2.
Aurat Lelaki Dengan Wanita
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya
batasan aurat lelaki dengan wanita mahramnya ataupun yang bukan mahramnya sama
dengan batasan aurat sesama lelaki. Tetapi mereka berselisih tentang masalah
hukum wanita memandang lelaki. Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ada
dua pendapat.
Pendapat pertama, Ulama
Syafiiyah berpendapat bahwasanya tidak boleh seorang wanita melihat aurat
lelaki dan bagian lainnya tanpa ada sebab. Dalil mereka adalah keumuman firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya. [an-Nûr/24:31]
Dan hadist Ummu Salamah
Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : احْتَجِبَا مِنْهُ ! فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
Aku berada di sisi Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah
Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu anhu -yaitu ketika perintah hijab telah turun-.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian
berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasûlullâh, bukankah ia buta sehingga
tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
balik bertanya, “Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua dapat
melihat dia ?. [HR. Abu Dâwud, no. 4112; Tirmidzi, no. 2778; Nasa’i dalam Sunan
al- Kubrâ, no.9197, 9198) dan yang lainnya namun riwayat ini adalah riwayat yang
dha’îf, dilemahkan oleh Syaikh al-Albâni]
Dan mereka juga berdalil dengan
qiyas: yaitu sebagaimana di haramkan para lelaki melihat wanita seperti itu
pula di haramkan para wanita melihat lelaki.
Pendapat yang kedua adalah
pendapat Ulama di kalangan mazhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain
selain auratnya. Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang di riwayatkan oleh
Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata :
رَأَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
Aku melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah
orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah
yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia
yang suka bercanda [HR. Al-Bukhâri, no.5236; Muslim, no.892 dan yang lainnya]
3. Aurat Lelaki Dihadapan Istri
Suami adalah mahram wanita yang
terjadi akibat pernikahan, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
Ulama bahwasanya seorang suami atau istri boleh melihat seluruh anggota tubuh
pasangannya. Adapun hal ini berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٢٩﴾ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Dan orang-orang yang memelihara
kem4luannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.
[al-Ma’ârij/70:29-30]
Dan hadits Aisyah Radhiyallahu
anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:
قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku
mandi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana
dalam keadaan junub. [HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim, no. 43]
4.
Aurat Wanita Dihadapan Para Lelaki Yang Bukan Mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang
wanita adalah dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan
mahramnya. Oleh sebab itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat
wanita yang harus di tutup dan tidak boleh ditampakkan. Para Ulama sepakat
bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang harus di tutup, kecuali
wajah dan telapak tangan yang masih diperselisihkanoleh para Ulama tentang
kewajiban menutupnya. Dalil tentang wajibnya seorang wanita menutup auratnya di
hadapan para lelaki yang bukan mahramnya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang
harus di tutup. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ
Wanita itu adalah aurat, jika
ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya [HR. Tirmidzi,no. 1173; Ibnu
Khuzaimah, no. 1686; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, no. 10115 dan yang
lainnya]
5.
Aurat Wanita Di depan Mahramnya
Mahram adalah seseorang yang
haram di nikahi karena adanya hu*bungan nasab, kekerabatan dan per5usuan.
Pendapat yang paling kuat tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu seorang
mahram di perbolehkan melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia
berada di rumahnya seperti kepala, muka, leher, lengan, kaki, betis atau dengan
kata lain boleh melihat anggota tubuh yang terkena air wudhu. Hal ini
berdasarkan keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31, insyaAllâh akan
datang penjelasannya pada batasan aurat wanita dengan wanita lainnya. Dan
hadist Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
كَانَ الرِّجَالُ والنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُوْنَ فِيْ زَمَانِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيْعًا
Dahulu kaum lelaki dan wanita
pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan
[HR. Al-Bukhâri, no.193 dan yang lainnya]
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Bisa jadi, kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab dan tidak
dilarang pada saat itu kaum lelaki dan wanita melakukan wudhu secara bersamaan.
Jika hal ini terjadi setelah turunya ayat hijab, maka hadist ini di bawa pada
kondisi khusus yaitu bagi para istri dan mahram (di mana para mahram boleh
melihat anggota wudhu wanita). [Lihat Fathul Bâri, 1/300]
6.
Aurat Wanita Di Depan Wanita Lainnya
Terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para Ulama tentang aurat wanita yang wajib di tutup ketika berada di
depan wanita lain. Ada dua pendapat yang masyhûr dalam masalah ini :
a. Sebagian ahli ilmu
berpendapat bahwa aurat wanita di depan wanita lainnya seperti aurat lelaki
dengan lelaki yaitu dari bawah pusar sampai lutut, dengan syarat aman dari
fitnah dan tidak menimbulkan syahwat bagi orang yang memandangnya.
b. Batasan aurat wanita dengan
wanita lain, adalah sama dengan batasan sama mahramnya, yaitu boleh
memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan, seperti rambut,
leher, dada bagian atas, lengan tangan, kaki dan betis. Dalilnya adalah
keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
Dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
[an-Nûr/24:31]
Yang dimaksud dengan perhiasan
di dalam ayat di atas adalah anggota tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan.
Imam al- Jasshâs rahimahullah
berkata, “Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bolehnya seseorang
menampakkan perhiasannya kepada suaminya dan orang-orang yang disebutkan
bersamanya (yaitu mahram) seperti ayah dan yang lainnya. Yang terpahami, yang
dimaksudkan dengan perhiasan disini adalah anggota tubuh yang biasanya di
pakaikan perhiasan sepert wajah, tangan, lengan yang biasanya di pakaikan
gelang, leher, dada bagian atas yang biasanya di kenakan kalung, dan betis
biasanya tempat gelang kaki. Ini menunjukkan bahwa bagian tersebut boleh
dilihat oleh orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas (yaitu mahram).[1]
Hal senada juga di ungkapkan oleh imam az-Zaila’i rahimahullah.[2]
Syaikh al-Albâni rahimahullah
menukil kesepakatan ahlu tafsir bahwa yang di maksud pada ayat di atas adalah
bagian tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan seperti anting, gelang tangan,
kalung, dan gelang kaki.[3]
Pendapat Yang terkuat dalam hal
ini adalah pendapat terakhir, yaitu aurat wanita dengan wanita lain adalah
seperti aurat wanita dengan mahramnya karena dalil yang mendukung lebih kuat.
Wallahu a’lam.
SIAPAKAH
YANG BERTANGGUNG JAWAB MENJAGA AURAT?
Sahabat medianda terkini agama
Islam selaras dengan fitrah manusia. Selama fitrah tersebut masih suci, tidak
di nodai dengan maksiat, maka menjaga aurat bagian dari pembawaan manusia sejak
lahir, sebagaimana nabi Adam dan istrinya ketika nampak aurat mereka yang
sebelumnya tertutup akibat memakan buah yang terlarang. Dengan fitrahnya, nabi
Adam dan istrinya menutup auratnya dengan daun-daun surga, sebagaimana firman
Allâh Azza wa Jalla :
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Maka syaithan membujuk keduanya
(untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah
kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang
kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua ? [al- A’râf/7:22]
Namun, ketika fitrah ini mulai
hilang dari bani Adam dan ketika sifat malu pada diri mereka mulai terkikis,
maka harus ada yang mengontrol dan mengingatkan mereka dalam menjaga aurat.
Sebab, mempertontonkan aurat merupakan sebuah kemungkaran yang harus di
ingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Barangsiapa diantara kalian
melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia
tidak mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak bisa maka dengan hatinya dan
itu adalah selemah –lemah iman. [HR. Muslim, no.49 dan yang lainnya]
Mengubah kemungkaran dengan
tangan adalah hak dari ulill amri (pemerintah) atau orang yang memiliki
kekuasan, seperti ayah kepada anaknya, atau suami terhadap istrinya. Seorang
bapak berkewajiban menjaga aurat anak perempuannya jika dia sudah baligh.
Mereka berkewajiban melarang anak perempuan mereka berdandan atau berpakaian
yang tidak menutup aurat ketika keluar rumah. Begitu pula seorang suami, ia
juga berkewajiban menjaga aurat istrinya, seperti menyuruhnya berbusana yang
menutup anggota tubuhnya, menyuruhnya berjilbab jika keluar rumah. Dan jika
sudah diberi nasehat dengan cara yang baik, suami boleh memberikan sangsi
kepada istrinya yang tetap membuka auratnya, yaitu dengan pisah ranjang, atau
memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Karena membuka aurat
bagian dari nusyûz (meninggalkan salah satu kewajiban) seorang istri kepada
suaminya. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang sangsi nusyûz :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyûz maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allâh Maha
Tinggi lagi maha besar. [An-Nisâ’/4:34]
Pemerintah juga mempunyai
peranan penting dalam menjaga aurat masyarakat, sehingga mereka tidak seenaknya
berpakaian dan berpenampilan yang mengumbar aurat di depan umum. Tatanan sebuah
masyarakat akan rusak jika hal ini tidak dilarang, sebab akan terjadi berbagai
macam kemungkaran seperti perzinahan, pemerkosaan dan yang lainnya. Pemerintah
harus ikut andil dalam menjaga aurat masyarakat karena itu merupakan kewajiban
dan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang berwenang. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ .
Setiap kalian adalah pemimpin
dan setiap kalian akan di tanya tentang kepemimpinannya, seorang amir maka dia
adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR.
al-Bukhâri , no. 893,2409,2554; dan Muslim, no.1829]
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata, “Wajib bagi waliyul amri (pemerintah) melarang perempuan yang keluar
(rumahnya) dengan berdandan dan bersolek, dan juga melarang mereka berpakaian
yang menampakkan auratnya. [at-Thuruq al-Hukmiah, hlm. 238]
Jika terjadi pelangggaran dalam
masalah ini pemerintah boleh memberikan sangsi terhadap pelakunnya, dan hal ini
di benarkan dalam agama Islam. Masalah jenis sangsi, dikembalikan kepada
kebijakan hakim. Karena pelanggaran tidak menutup aurat termasuk hukum ta’zîr
dan bukan bagian dari hukum hudud. Wallâhu a’lam.