MediandaTerkini – Sahabat medianda
terkini dalam berumah tangga, seorang suami berkewajiban untuk menafkahi
keluarganya. Sehingga merupakan hal yang lumrah bila suami lebih banyak yang
bekerja bila dibandingkan dengan wanita. Terkadang ada suami yang sangat pelit,
di sisi lain kebutuhan rumah tangga begitu besar. Sang istri pun selalu merasa
kekurangan karena memang tidak cukup. Sudah dibicarakan dengan suami tapi ia
tak mau mendengar. Karena tidak mau berhutang pada tetangga, sang istri pun
mengambil jalan pintas. Ia mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya.
Bolehkah seorang istri
mengambil harta suaminya? Misal ketika suami pelit dalam hal nafkah. Istri
akhirnya mengambil uang dari dompet suami secara diam-diam.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah
datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak
memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga
membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku
melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah
dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR.
Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Ibnu Hajar rahimahullah
menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai
kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari,
9: 509)
Sahabat medianda terkini perlu
dipahami bahwa sifat yang disebut Hindun pada suaminya Abu Sufyan, bahwa
suaminya itu pelit, bukan berarti suaminya memang orang yang pelit pada siapa
saja. Bisa jadi ia bersikap seperti itu pada keluarganya, namun ada barangkali
yang lebih membutuhkan sehingga ia dahulukan. Jadi, kurang tepat kalau
menganggap Abu Sufyan ialah orang yang pelit secara mutlak. Demikian tutur
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 159.
Faedah yang dapat dipetik dari
hadits di atas:
1. Hadits di atas menunjukkan
akan wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya. Bahkan hal ini menjadi ijma’
(kesepakatan para ulama).
2. Hadits di atas juga
menunjukkan seorang ayah wajib memberi nafkah pada anaknya. Kewajiban nafkah
ini ada selama anak tersebut: (a) masih kecil, (2) baligh namun dalam keadaan
sakit atau masih belum mampu mencari nafkah. Jika anak tersebut sudah baligh
dan sudah mampu dalam mencari nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah.
Namun hadits Hindun tersebut
menunjukkan bahwa kewajiban nafkah seorang ayah ialah secara mutlak selama
anak-anak itu dalam keadaan fakir. Ia wajib memberi nafkah pada mereka, tidak
memandang di sini apakah mereka telah baligh atau sudah dalam keadaan kuat
(mencari nafkah).
3. Bila ada suami yang punya
kewajiban memberi nafkah pada istri lantas tidak diberi dikarenakan sifat
pelitnya, maka istri boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. sebab
nafkah pada istri itu wajib.
Para ulama juga mengglobalkan
hal ini, bukan hanya perihal nafkah. Juga termasuk hal lainnya yang ada di situ
kewajiban memberi, namun tidak dipenuhi dengan baik. Berarti hal seperti ini
tidak berlaku bila nafkah istri terpenuhi dengan baik.
4. Besar nafkah yang dianggap
dan mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat dan waktu.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah
rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang
dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri
kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran
tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan
perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’
Al-Fatawa, 34: 83)
5. Apabila melihat dari
pandangan ulama Hanafiyah, hadits ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar
besarnya nafkah ialah apa yang dirasa cukup oleh istri. Sebab dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta
suaminya yang mencukupinya.
Namun yang paling bagus kita
katakan bahwa besarnya nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan
istri, yaitu memandang dua belah pihak.
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula).” (QS. Al-Baqarah: 236).
Dikompromikan dengan hadits
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan
bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
* Mencukupi istri dan anak
dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
* Dilihat dari kemampuan suami,
apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
6. Bila istri masih mampu
mendapatkan kecukupan dari harta suami (meskipun nantinya ia mengambil
diam-diam), maka tidak boleh menuntut untuk pisah (cerai). Jadi cerai bukanlah
jalan keluar dari sulitnya nafkah.
7. Bila seorang istri
mengadukan suaminya demi meminta nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun,
itu tidak termasuk ghibah.
8. Boleh mendengar perkataan
dari wanita bukan mahram saat ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam
masalah hukum. Hal ini dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan) dan tidak
dengan suara yang mendayu-dayu. Seperti misalnya, masih boleh menerima telepon
dari pria selama tidak ada godaan dan tidak dengan suara mendayu-dayu.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.
Al-Ahzab: 32)
Nah sahabat medianda terkini itulah
penjelasan mengenaik bagaimana jika seorang istri mengambil uang atau harta
suami secara diam-diam tanpa sepengetahuan sang suami. Semoga artikel ini dapat
menambah ilmu anda semua dan semoga bermanfaat.
Sumber:Rumaysho